I. Pendahuluan
Makanan dan gizi adalah hal terpenting dalam proses tumbuh-kembang anak yang optimal. Dewasa ini banyak orangtua yang telah mengetahui pentingnya asupan makanan dan gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan anaknya, sehingga mereka telah memilihkan menu makanan yang bergizi tinggi (Vinka Kumala).
Keadaan gizi pada waktu bayi dan anak berperanan dalam meletakkan dasar-dasar kesehatan bayi dan anak pada waktu ini dan kelak pada waktu dewasanya (Husaini, 2006). Dewasa ini di Indonesia masih mengalami masalah gizi yang sangat serius dan tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota. Diperkirakan separuh dari penduduk Indonesia menderita berbagai bentuk masalah kurang gizi dan hampir 40% anak balita di klasifikasikan pendek (Atmarita, 2006).
Meski makan merupakan kegiatan alami, ternyata makan bukan masalah sederhana bagi anak-anak. Masalah makan yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah pengaturan makan pada anak, dengan konsekuensi terjadinya defisiensi zat gizi apabila asupan zat gizi tidak memadai dan terjadi perubahan system imun (Suandi, 2004). Beberapa sumber juga menyebutkan masalah makan yang mungkin terjadi pada anak antara lain sulit makan, pilih-pilih makan sampai sulit berhenti makan.
Masalah makan dapat terjadi pada semua kelompok umur dalam daur kehidupan manusia. Namun masalah ini berbeda-beda dari segi jenisnya, penyebab, derajat dan lamanya masalah makan tersebut terjadi. Namun yang paling banyak dikeluhkan adalah masalah makan pada Balita. Kelompok balita termasuk kelompok konsumen semi pasif atau semi aktif. Balita juga termasuk berada dalam fase negaivistik, balita menolak makan karena menunjukkan egonya. Masalah makan umumnya terjadi pada usia 2-5 tahun. Hal ini sering terjadi akibat kesalahan ibu dalam cara pemberian makan semasa bayi (Suandi, 2004).
Kesulitan makan karena sering dan berlangsung lama sering dianggap biasa. Sehingga akhirnya timbul komplikasi dan gangguan tumbuh kembang lainnya pada anak. Salah satu keterlambatan penanganan masalah tersebut adalah pemberian vitamin tanpa mencari penyebabnya sehingga kesulitan makan tersebut terjadi berkepanjangan.
Dengan penanganan kesulitan makan pada anak yang optimal diharapkan dapat mencegah komplikasi yang ditimbulkan, sehingga dapat meningkatkan kualitas anak Indonesia dalam menghadapi persaingan di era globalisasi mendatang khususnya. Tumbuh kembang dalam usia anak sangat menentukan kualitas seseorang bila sudah dewasa nantinya (Widodo Judarwanto, 2007).
Selain itu hal yang penting mendapat perhatian adalah pemberian makan kepada anak tidak hanya merupakan pemenuhan kebutuhan gizi, tetapi merupakan pengalaman sosial (Myers, 1995 dalam Madanijah, 2004). Penerapan cara makan yang baik pada anak sejak usia dini akan sangat menentukan kebiasaan makannya pada saat remaja atau dewasa (Fieldhouse, 1995; Birch & Fisher, 1998 dalam Madanijah, 2004).
II. Penyebab Utama Kesulitan Makan
Penyebab kesulitan makanan itu sangatlah banyak. Semua gangguan fungsi organ tubuh dan penyakit bisa berupa adanya kelainan fisik, maupun psikis dapat dianggap sebagai penyebab kesulitan makan pada anak. Kelainan fisik dapat berupa kelainan organ bawaan atau infeksi bawaan sejak lahir dan infeksi didapat dalam usia anak.
Secara umum penyebab umum kesulitan makan pada anak dibedakan dalam 3 faktor, diantaranya adalah hilang nafsu makan, gangguan proses makan di mulut dan pengaruh psikologis. Beberapa faktor tersebut dapat berdiri sendiri tetapi sering kali terjadi lebih dari 1 faktor. Penyebab paling sering adalah hilangnya nafsu makan, diikuti gangguan proses makan.
III. Dampak Masalah Kesulitan Makan pada Anak
Masalah makan jelas berdampak kurang baik terhadap kesehatan, aktifitas sehari-hari serta tumbuh kembang anak. Bila asupan zat gizi terganggu dalam jangka waktu singkat dapat menimbulkan depresi energi akut (Hipoglikemia).
Namun semakin lama jangka waktu anak mengalami kesulitan makan tersebut maka akibat yang ditimbulkan juga akan semakin kompleks.
Gizi salah atau malnutrisi akan timbul apabila masalah makan berlanjut dan tidak mendapat penanganan. Malnutrisi yang timbul pada anak akan menyebabkan defisiensi imun sekunder, defisiensi protein, vitamin A, B-kompleks, asam askorbat dan seng (Zn).
Anak dengan kesulitan makan, kemudian mengalami malnutrisi, daya tahan tubuhnya akan berkurang sehingga rentan terhadap infeksi. Interaksi antara kekurangan asupan zat gizi dengan terjadinya infeksi berjalan sinergis. Bila terhadi defisiensi zat gizi maka akan memudahkan timbulnya infeksi dan sebaliknya infeksi yang terjadi akan memperburuk terjadinya defisiensi zat gizi.
Kebutuhan zat gizi yang meningkat selama infeksi, disebabkan oleh beberapa mekanisme :
- Reaksi stress memicu respon katabolik dengan meningkatnya kehilangan nitrogen, magnesium, kalium, fosfat dan Zn
- Infeksi berat bila diserta panas akan meningkatkan kecepatan metabolik dan meningkatkan kebutuhan energi.
- Anoreksi menurunkan asupan makanan
- Kehilangan zat gizi mungkin akan meningkat oleh karena prespirasi, vomiting dan diare
- Malabsorbsi pada infeksi eneterik, mempengaruhi pemakaian zat gizi.
IV. Berbagai Masalah Gizi Ditimbulkan dan Dampaknya terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan
Kesulitan makan pada anak yang terjadi dalam jangka waktu lama dan sering berulang dapat menimbulkan pengaruh tidak baik pada berbagai organ dan fungsi tubuh.
Masalah gizi yang ditimbulkan dapat berupa kurang gizi dan gizi buruk yang merupakan manifestasi dari kekurangan zat gizi makro seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor. Kekurangan zat gizi mikro seperti anemia, kurang Vitamin A, dan penyakit spesifik lainnya terkait kekurangan vitamin dan mineral. Serta gangguan mental dan kecerdasan.
1. Kurang gizi
Keadaan kurang gizi jumlahnya saat ini cukup besar yaitu dengan prevalensi 25-30% (Husaini, 2006). Kurang gizi menyebabkan pertumbuhan fisik terlambat, perkembangan kecerdasan rendah dan kemampuan kerja fisik juga rendah.
2. Gizi Buruk
Di Indonesia angka kejadiannya cukup tinggi pada anak di bawah 5 tahun. Gizi buruk akibat kekurangan energi dan protein terdiri dari 3 kelompok yaitu marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor.
Marasmus berasal dari bahasa Yunani yang berarti sisa. Sisa artinya tidak ada otot dan lapiran lemak di bawah kulit, kulit kering serta keriput dan ukuran badan kecil kurang dari 60% dari berat badan normal. Jika anak diangkat terlihat keriput terutama pada pantatnya. Kulitnya terlalu besar untuk tubuhnya, ibarat baju ukurannya kebesaran, sehingga timbul keriput (Arisman, 2004; Husaini, 2006).
Kwashiorkor merupakan kebalikan dari marasmus dimana badannya tetap besar, tetapi bukan karena otot dan lemak melainkkan karena kebanyakan air atau busung (Husaini, 2006). Kwashiorkor adalah gangguan gizi karena kekurangan protein biasa sering disebut busung lapar. Gejala yang timbul diantaranya adalah tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Terdapat juga gangguan perubahan mental yang sangat mencolok. Pada umumnya penderita sering rewel dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun (Judarwanto, 2007).
Marasmic-kwashiorkor adalah kondisi yang paling berat yang merupakan kombinasi antara marasmus dan kwashiorkor. Badannya kecil tetapi bengkak. Gejala-gejala yang terdapat pada marasmus dan kwahiorkor dijumpai pada anak ini.
3. Kekurangan Vitamin dan Mineral.
Kesulitan makan yang berlangsung lama mengakibatkan kekurangan vitamin dan mineral tertentu. Kekurangan zat vitamin dan mineral tertentu mengakibatkan gangguan dan kelainan tertentu pula pada tubuh anak. Karena begitu banyaknya jenis vitamin dan mineral dan begitu luasnya fungsi dan organ tubuh yang terganggu maka jenis gangguannya sangat banyak dan luas. Adapun beberapa contoh penyakit kekurangan vitamin dan mineral tersebut adalah :
a. Anemia Gizi
Anemia gizi adalah kurangnya kadar Hemoglobin pada anak yang disebabkan karena kurangnya asupan zat Besi (Fe) atau asam Folat. Gejala yang bisa terjadi adalah anak tampak pucat, sering sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Keadaan dapat terjadi pada anak dengan kesulitan makan karena kurangnya asupan gizi dan makanan tidak memenuhi gizi seimbang. Sumber makanan kaya besi yang mudah terserap umumnya banyak terdapat pada protein hewani seperti hati, daging dan ikan (Judarwanto, 2007).
b. Kurang Vitamin A
Kekurangan vitamin A dapat merupakan penyakit sistemik yang mempengaruhi dan mengganggu sel dan jaringan di seluruh tubuh. Hal ini disebabkan karena peran penting vitamin A di dalam menopang fungsi tubuh termasuk penglihatan, integritas sel, kompetensi sistem kekebalan serta pertumbuhan.
4. Gangguan Perkembangan Mental dan Kecerdasan
Pada penderita malnutrisi (kurang gizi) dapat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Stuart, 1987 mengatakan bahwa kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral dan zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme di otak sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf. Hal itu berakibat terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru atau mielinasi sel otak terutama usia di bawah 3 tahun, sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Walter, 2003 menelti 825 anak dengan malnutrisi berat ternyata mempunyai kemampuan intelektual lebih rendah dibandingkan anak yang mempunyai gizi baik (Judarwanto, 2007).
Sel otak terbentuk sejak trimester pertama kehamilan, dan berkembang pesat sejak dalam rahim ibu. Perkembangan ini berlanjut saat setelah lahir hingga usia 2 – 3 tahun, periode tercepat usia 6 bulan pertama. Setelah usia tersebut praktis tidak ada pertumbuhan lagi, kecuali pembentukan sel neuron baru untuk mengganti sel otak yang rusak. Dengan demikian diferensiasi dan pertumbuhan otak berlangsung hanya sampai usia 3 tahun.
Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel janin, sehingga jumlah sel neuron di otak dapat berkurang secara permanen. Sedangkan kekurang gizi pada usia anak sejak lahir hingga 3 tahun akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel glia dan proses mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia kehamilan dan usia anak sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya.
Gizi kurang pada usia di bawah 2 tahun akan menyebabkan sel otak berkurang 15-20%, sehingga anak yang demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas otak sekitar 80-85%. Anak yang demikian tentunya bila harus bersaing dengan anak lain yang berkualitas otak 100% akan menemui banyak hambatan (Judarwanto, 2007).
V. Penutup
Makan dan kebiasaan makan merupakan aspek yang penting dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan, terutama masa kanak-kanak awal. Kegiatan anak ini sering menjadi masalah baik bagi anak ataupun orang tua, khususnya bila terjadi kesulitan makan pada anak.
Gizi salah atau malnutrisi akan timbul apabila masalah makan berlanjut dan tidak mendapat penanganan. Malnutrisi yang timbul pada anak akan menyebabkan defisiensi imun sekunder, defisiensi protein, vitamin A, B-kompleks, asam askorbat dan seng (Zn).
Masalah gizi yang ditimbulkan dapat berupa kurang gizi dan gizi buruk yang merupakan manifestasi dari kekurangan zat gizi makro seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmic-kwashiorkor. Kekurangan zat gizi mikro seperti anemia, kurang Vitamin A, penyakit spesifik lainnya terkait kekurangan vitamin dan mineral. Serta gangguan mental dan kecerdasan.
Daftar Pustaka
Arsiman, MB, 2004., Gizi dalam Daur Kehidupan, Jakarta: EGC.
Atmarita, 2006., Mampukah Indonesia Bersepakat untuk melakukan Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang Cerdas dan Berkualitas, Gizi Indonesia 2006, 29(1) 47-57.
Husaini, Yayah K., 2006., Perilaku Memberi Makan untuk Meningkatkan Tumbuh Kembang Anak, Gizi Indonesia 2006, 29(1) 58-64.
Judarwanto, Widodo, 2007, Gangguan Pencernaan Penyebab Utama Kesulitan makan Pada Anak.
Kumala, Vinka, 2005., Menyiasati Kesulitan Makan Pada Anak
Madanijah, Siti, 2004, Dampak Intervensi ”GI-PSI-SEHAT” bagi ibu terhadap Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini, Gizi Indonesia 2004, 27(2) 59-75
(Suiraoka, 23072012)