ERA BERUBAH, POLA MAKAN PUN BERUBAH

Posted: Mei 20, 2012 in Pola Hidup Sehat

Istilah Globalisasi, pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Menurut sejarahnya, akar munculnya globalisasi adalah revolusi elektronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Revolusi elektronik melipatgandakan akselerasi komunikasi, transportasi, produksi, dan informasi. Disintegrasi negara-negara komunis yang mengakhiri Perang Dingin memungkinkan kapitalisme Barat menjadi satu-satunya kekuatan yang memangku hegemoni global.

Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik. Era globalisasi yang dicirikan oleh pesatnya perdagangan, industri pengolahan pangan, jasa dan informasi akan mengubah gaya hidup dan pola konsumsi makan masyarakat, terutama di perkotaan. Melalui rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi maka selera terhadap produk teknologi pangan tidak lagi bersifat lokal, tetapi menjadi global.

Salah satu dampak dari arus globalisasi yang paling nyata terlihat pada warga perkotaan adalah perubahan pola makan, yang termasuk didalamnya bagaiman memilih tempat makan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Pergeseran pola makan ini terutama dipicu oleh perbaikan/peningkatan pendapatan (ekonomi), kesibukan kerja yang tinggi (waktu yang terbatas) dan promosi makanan trendy ala barat, utamanya fast food maupun health food yang populer di Amerika dan Eropa, namun tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran gizi. Akhirnya budaya makan berubah menjadi tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro.

Perubahan sosial ekonomi dan selera makan akan mengakibatkan perubahan pola makan masyarakat yang cenderung menjauhkan konsep makanan seimbang, sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan dan gizi. Pola makan tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro akan menyebabkan masalah kegemukan, gizi lebih, serta meningkatkan radikal bebas yang akhirnya mengakibatkan perubahan pola penyakit, dari infeksi ke penyakit kronis non infeksi atau memicu munculnya penyakit degeneratif.

Gaya hidup di perkotaan dengan pola diet yang tinggi lemak ditambah dengan aktivitas entertainment, seringnya menghadiri resepsi/pesta, mengakibatkan para eksekutif di perkotaan cenderung mengkonsumsi makanan secara berlebihan yang mengakibatkan rasa penuh dan tidak nyaman di dalam perut. Disamping itu kandungan lemak yang tinggi juga akan menyebabkan gangguan produksi enzim pencernaan, karena kandungan lemak yang tinggi akan memperlambat proses pengosongan lambung.

  1. 1.      Pertimbangan pemilihan jenis, cara dan jumlah dan mengakibatkan pergeseran pola konsumsi

Pada kelompok masyarakat perkotaan dengan penghasilan mapan, disinyalir pergeseran pola konsumsi makan mereka terjadi karena adanya pertimbangan dalam memilih jenis, cara dan jumlah makanan yang mereka konsumsi. Ketiga hal ini adalah selera sentris, gengsi sentris dan ekonomi sentris.

Selera sentris adalah gaya konsumsi makanan yang terlalu berorientasi pada unsur selera, dalam hal ini lokasi tempat makan dan jenis makanan yang diharapkan menjadi pertimbangan utama, sedangkan keseimbangan gizi kurang mendapat perhatian.

Gengsi sentris merupakan gaya konsumsi makanan yang berorientasi pada makanan yang bergengsi tinggi seperti makanan impor khususnya fast food. Makanan tradisional yang lebih menjamin asupan gizi seimbang tidak lagi menjadi pilihan kelompok gengsi sentris, karena makanan tradisional dinilai tidak bergengsi. Disini tampak sekali bahwa makanan yang di negeri asalnya tidak memiliki gengsi, dengan trick promosi yang gencar berhasil naik peringkat menjadi makanan bergengsi di Indonesia.

Bila di Amerika misalnya, ada gerakan “Back to nature” yaitu gaya mengkonsumsi makanan yang masih segar dan alami, dalam komposisi seimbang dan menghindari makan makanan fast food (Junk food, terlalu tinggi energi/gula, protein, lemak dan garam). Sedangkan keadaan yang sebaliknya terjadi di berbagai kota besar di Indonesia, yaitu menjadikan makanan fast food sebagai gaya konsumsi makanan yang trendy dan meninggalkan pola konsumsi makanan dengan gizi seimbang. Pada perayaan peristiwa penting (HUT, promosi, dll) sering kali memilih makanan di restoran fast food yang trendy ketimbang rumah makan  tradisional.

Ekonomi sentris, adalah pola konsumsi makanan, dimana makanan yang telah dibeli/dibayar dipaksakan untuk dikonsumsi habis tanpa memperhitungkan keseimbangan dan kecukupan gizi. Seringkali orangtua memaksa anaknya untuk menghabiskan makanan karena semata-mata telah membayar makanan tersebut. Kalangan “eksekutif muda” seringkali terjebak dalam promosi “all you can eat” akibatnya kelompok ini mencoba mengkonsumsi makanan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan keanekaragaman makanan dan keseimbangan asupan gizi.

  1. 2.      Waktu makan singkat, yang dipilih makanan instan

Life style (gaya hidup) kaum muda usia produktif umumnya sangat dinamis. Kerja keras menjadi ciri kehidupan mereka setiap hari. Kesibukan sehari-hari, seringkali mengharuskan para pekerja di perkotaan untuk makan terburu-buru.

Tuntutan ekonomi dewasa ini membuat orang-orang begitu menghargai waktunya untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif. Sehingga mereka akan berusaha memilih dan memilah waktu dari aspek untuk apa dan berapa lama waktu tersebut dihabiskan. Tidak terkecuali waktu untuk makan mereka. Makan (terkecuali jika diperlukan sebagai sarana lobby dengan rekanan) umumnya dilakukan dengan singkat. Karena alokasi waktu yang singkat ini, maka menimbulkan konsekuensi pemilihan makanan-makanan instan yang proses persiapannya tidak membutuhkan terlalu banyak waktu.

Di kota-kota besar di Indonesia junk food dijual di berbagai pusat perbelanjaan dan pusat jajanan. Dewasa ini begitu mudahnya kita mengakses tempat-tempat makan yang dapat menyajikan makanan secara instan yang katanya sesuai dengan tuntutan waktu yang sempit. Seakan waktu yang kita miliki begitu terbatasnya, sehingga untuk makan pun mesti dibatasi.

Selain alasan waktu, pola makan makanan yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian masyarakat perkotaan. Sebagai contoh, gorengan jenis makanan murah meriah dan mudah didapat karena banyak dijual di pinggir jalan ini rasanya memang enak.

Hal yang diuraikan diatas adalah hal-hal yang kurang bijak dilakukan dalam menyikapi perubahan era globalisasi. Itu mungkin tidak sepenuhnya salah, namun masih banyak kesempatan untuk memilih dan melakukan pola makan yang lebih baik dan lebih sehat. Karena dampak dari pola makan yang tidak sehat sekarang mungkin tidak langsung dirasakan saat ini, tapi suatu saat akan menurunkan berbagai penyakit degeneratif yang membuat tidak nyaman dan tentunya membutuhkan biaya pengobatan yang banyak (Suiraoka, 052012).

Tinggalkan komentar